Memasjidkan Masjid: Resensi Buku "Berbuku dan Bermasjid"



Judul Buku: Berbuku dan Bermasjid
Penulis: M. Taufik Kustiwan
Penerbit: Bilik Literasi
Tebal Buku: 81 Halaman.
Cetakan: Ke-2.
ISBN:  978-602-52506-7-5
Resensi oleh: Dadang Wiratama

Alam adalah persujudan. Para pemeluk agama tentu memiliki tempat persujudan. Begitupun Islam. Tempat itu dijadikan sebagai simbol kesucian untuk melakukan peribadatan pemeluknya. Kemunculan masjid berawal dari prosesi panjang setelah Nabi Muhammad menerima wahyu dari Tuhan. Masjid dijadikan tempat bukan hanya untuk persujudan. Tapi, juga sebagai pusat kebudayaan umat Islam.

Banyak buku menceritakan peranan masjid, salah satunya garapan M. Taufik Kustiawan. Tulisan-tulisan yang pernah berumah dibeberapa media cetak, mengajak kembali mengingat bagaimana peranan masjid yang begitu besar dalam kehidupan umat muslim. Masjid bukan hanya dijadikan sebagai simbol kekuasaan Islam, pusat pemerintahan Islam, tapi, dijadikan oleh para Ulama dan Cendekiawan untuk mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam.

 Masjid pada zaman Nabi Muhammad dijadikan sebagai pusat kehidupan masyarakat, penyebaran agama Islam, berijtihad, menyelesaiakn permasalahan sosial, dll. “Masjid adalah pusat kehidupan fikiran dan perasaan Islam dan serempak tempat manifestasi dari fikiran/perasaan itu. (Drs. Gazalba: 233)”. Masjid tidak melulu menjadi tempat urusan ketaqwaan dan penyembahan hamba pada Tuhan, permintaan ampunan, pertaubatan. Tapi, juga sebagai tempat mengasah akal, perumusan strategi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan.

Perkembangan dunia Islam, memang berhubungan erat dengan Masjid. Para khalifah (pemimpin) Islam dalam pengekspansian wilayah. Setelah berhasil menakhlukan, hal yang akan dilakukan adalah membangun masjid-masjid. Keberhasilan memudahkan penyebaran ajaran Islam kepada penduduk setempat dan mengajak untuk menjadikan masjid sebagai pusat keilmuan dan kebudayaan.

Keberhasilan yang gemilang ini. Tidak dapat dipertahankan oleh umat Islam. Banyak dari mereka hadir di masjid bukan membahas persoalan-persoalan sosial. Justru hanya mengurusi kerohania dan kadang menebar kebencian. Masjid hanya bermakna terdapatnya umat Islam atau pernah ditempati oleh umat Muslim.

Pemberitaan melalui media cetak, online ataupun sosial media. Tidak jarang memberikan kerutan kening pada pembaca. Masjid-masjid sering menolak kehadiran umat Islam untuk berkunjung. Bisa kita liat dari pelarangan dengan jalan menggembok gerbang, menempatkan satpan untuk terciptanya keamanan. umat muslim telah ternodai dari sejak dalam pikiran dan hati sesamanya.

Disamping itu, semakin merebaknya umat Muslim berlomba-lomba membangun masjid dengan keindahan yang berkelok. Gemerlap lampu warna-warni, bertingkat dan bermodal milliaran. Sedang, mereka melupakan kesejarahan masjid yang dijadikan sebagai pusat mengasah nalar. Mereka lebih memilih keindahan dan keberhasilan dalam membangun masjid yang besar, tanpa memperdulikan bagaimana masjid ini dapat dijadikan sebagai tempat spirit baru dalam mengembangkan ajaran Islam pada zaman yang terus berkembang ini.

Masjid Kampus
Dalam dunia perguruan tinggi umum/Islam, terdapat bangunan masjid. Bangunan itu disediakan untuk tempat peribadatan umat manusia Islam. Masjid dalam perguruan tinggi tidak hanya dijadikan sebagai tempat peribadatan semata. Melainkan menjadi pusat keilmuwan. Pada tahun 60-80-an, mahasiswa sering menjadikan masjid sebagai pusat intelektual. 

Masjid yang terdapat di Universitas sekarang, seharuskan dapat dijadikan sebagai pusat intelektual selain perpustakaan. Melihat kesejarahan masjid, mahasiswa sering menggunakan. Tetapi, sering terlihat, seperti menjadi tempat kamar kesekian oleh mahasiswa, tempat nongkrong yang syar’i, dan ngegosip yang mungkin paling ampuh. Kajian-kajian berbuku, telah jarang berada disekitaran masjid. Mereka lebih memilih tempat berkopi, berkursi, dan berwifi.

Peristiwa seperti ini, menjadikan peranan masjid sedikit tersingkir dari spirit yang telah dipercontohkan oleh umat manusia Islam dari kejayaan dahulu. Masjid seakan seperti tempat tidak layak untuk menjadi tempat berdiskusi berbagai disiplinilmu. Peranan masjid yang menyimbulkan semangat pemeluknya justru malah disingkirkan pelan-pelan demi kenyamanan yang lebih haqiqi.

Masjid tak lagi meriah bertukar ilmu, masjid tak lagi menjadi sumber gerakan pembaharu pemikiran, masjid tak lagi menjadi kelahiran kaum intelektual. Masjid hanya pantas menjadi tempat mengadu nasib, memohon kemudahan dalam kehidupan, mengaji dan berkelakar menuju alam mimpi. Kisah yang semakin miris ini, semoga dapat mengembalkan semangat umat islam untukk kembali menjadikan Masjid sebagai pusat kelahiran inteletuil muslim Indonesia.

Tag : Resensi, Tulisan
0 Comments for "Memasjidkan Masjid: Resensi Buku "Berbuku dan Bermasjid""

Silakan tulis komentar anda!

Back To Top