Nurel Javissyarqi, Cahaya yang Belum Padam: Sebuah Obituari

 

Nurel Javissyarqi, Cahaya yang Belum Padam: Sebuah Obituari

Foto: Di makam Nurel Javisyarqi


        Foto : Fatah Anshori.




7 September 2021, Selasa pagi sekitar pukul 08.30 aku tidak sengaja melihat story WhatsApp salah dua temanku. satu sedang menampilkan gambar fotomu yang kutahu beberapa hari lagi foto itu akan tersemat di sampul belakang bukumu yang akan terbit tidak lama ini: balada-balada takdir terlalu dini. Kedua sedang memajang foto buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, dengan caption agak panjang dan yang paling mencolok tanpa membacanya hanya sekilas lihat, tersemat kalimat istirja’ di sana.

Sambil berharap berita itu hanya hoax, ingatan-ingatan itu tanpa sengaja berkelindan di kepala. Aku mendengar namamu pertamakali pada tahun 2019—boleh dibilang itu sungguh sangat telat dan aku memaknainya sebagai suatu petaka untukku sendiri. Di tahun 2018 akhir aku diterima bekerja di Pustaka Ilalang, suatu penerbit lokal di Lamongan yang terbilang besar. Di Ilalang aku bekerja sebagai penata letak buku dan sesekali membuatkan gambar sampul untuk buku-buku yang akan cetak. Di sela-sela bekerja sebagai tukang setting aku kerap mendengar namamu dari beberapa orang yang berkunjung ke toko untuk menerbitkan buku atau sekedar mampir. Mereka-mereka itu adalah para penulis yang tinggal di Lamongan yang seolah mengenalmu dengan sangat baik.

Mendengar beberapa desas-desus itu sebelum melihatmu, aku membayangkanmu sebagai tokoh pseudo-fiksi. Tokoh yang nyata ada atau tidaknya masih diragukan. Mereka mengatakan bahwa kau memiliki toko buku di salah satu kecamatan di Lamongan. Memang di Lamongan ada beberapa toko buku, namun toko buku itu tidak dikelola oleh orang-orang yang benar-benar mencintai buku dan mengerti perkembangan buku-buku dari penerbit indie hingga mayor. Sehingga dari sedikit toko buku di Lamongan, toko-toko buku itu hanya menjual buku-buku retur dari penerbit mayor dan sisanya adalah buku bajakan. Kenyataannya memang seperti itu. Tapi toko bukumu entah sama atau tidak seperti toko-toko buku itu, saat itu aku ingin sekali berkunjung ke toko bukumu.

Kemudian dari beberapa grup kepenulisan, kabar itu memang benar terjadi. Bu Mima meneruskan sebuah kiriman berupa kalimat yang tercetak miring dan bertanda tangan, berupa sebuah nama yang diapit tanda kurung buka dan kurung tutup nama itu adalah: Lathifa. Aku mengingat-ingat nama itu, dan pernah membaca nama itu di sebuah akun Facebook seorang ibu-ibu yang mengenakan baju safari semacam PNS, ia meminta pertemanan padaku. Lalu di saat itu pula, seiring kabar yang telah membuat pagi seperti remuk sesak. Aku segera membuka Facebook, menuliskan nama Lathifa di kotak pencarian dan di beranda aku menmukan fotomu bersama Bu Lathifa, kalian berdua seperti tampak bahagia. Tapi sialnya beberapa pesan balasan dari teman-teman tentang kepulanganmu adalah nyata adanya.

Aku memang tidak terlalu dekat denganmu, bahkan aku juga lupa pertama kali melihatmu, entah di mana. Tapi perjumpaan pertama denganmu segera disusul perjumpaan kedua, ketiga, dan seterusnya. Lalu setelah itu barangkali selama dua tahun aku tidak lagi melihatmu. Hingga kabar di hari selasa pagi di bulan September itu datang. Kabar kepergianmu begitu mendadak, tidak ada tanda-tanda apapun sebelumnya. Atau mungkin ini caramu untuk membuat semuanya seolah berjalan seperti biasanya dan tidak ada yang perlu di sesali. Seperti kata Hemingway, seseorang yang mati hari ini akan terbebas dengan kematian-kematian di tahun berikutnya. Atau barangkali seperti kata Camus, yang masa bodoh akan kematian, tak peduli kau mati sekarang atau 40 tahun lagi, kematian tetap tak bisa dipungkiri dan dunia akan tetap berputar seperti semula. Tapi entah kenapa kematianmu seperti noda getah pohon pisang yang menempel di baju, meskipun di cuci berulang-ulang kali akan tetap membekas dan selalu nampak.

Kau adalah orang kedua yang kepergiannya terlalu membekas, dan barangkali aku seperti Jun dalam novelaku yang sedang kugarap dan entah akan selesai kapan. Selama menggarap novela yang memiliki warna kematian itu aku telah kehilangan dua orang yang kuanggap penting dalam hidup ini. Aku tidak mengerti harus berbuat apa atas kepergian-kepergian ini. Apakah dengan ngelayat, datang hadir sewaktu jenazahmu dikuburkan dan melihat bagaimana detik-detik jasadmu dimasukkan ke liang lahat, menyaksikan bagaimana gumpalan-gumpalan tanah itu menimbun jasadmu lalu menaburkan bunga di atas gundukan makammu. Semua yang mengganjal di dada ini barangkali tidak akan bisa terbayar. Aku tidak mengerti. Tapi pagi itu aku tetap berkelakuan sebagaimana wajarnya orang-orang di sekitar kita. Melakukan penghormatan ke rumah si mati. Tapi kau pasti tertawa melihatku yang kagok, tidak tahu sejatinya harus melakukan apa. Dan aku juga yakin kau tidak butuh penghormatan sepanjang hidupmu. Kau seolah dalam tindak tandukmu sedang mendaku diri serupa Ahasveros atau binatang jalang dari kumpulannya terbuang.

Tepat pukul 09.15 aku berangkat dari rumah. Di perjalanan aku melihat sawah-sawah gersang, pohon-pohon jati, pisang dan segala pohon itu entah kenapa seolah benar-benar tidak bersuara, maksudku tidak seperti biasanya, meski memang mereka tidak bisa bersuara tapi entah pada hari itu pohon-pohon dan apapun yang tidak bisa berbicara tampak berbeda, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Atau memang semuanya sedang berduka, benar-benar berduka. Entahlah.

Di Simo dengan sekilas aku melihat toko bukumu tampak murung, ia seperti anak kecil yang ditinggalkan orang tuanya. Pintunya yang berwarna hijau tertutup diapit warung dan konter yang tampak biasa-biasa, entah mereka tahu atau tidak apa yang terjadi padamu. Tapi kau juga tidak terlalu peduli mereka tahu atau tidak kau telah selesai dengan urusan itu. Di halaman toko bukumu sedang dipenuhi beberapa motor yang terparkir sembarangan. Dan di sebelah selatan tokomu beberapa lelaki sedang bersantai, tertawa-tawa sambil menyeduh kopinya masing-masing. Aku sambil lalu membiarkan apa yang sedang terjadi. Aku yakin kau juga tidak akan peduli mau mereka jungkir balik, membakar diri sambil terbahak-bahak, kau telah selesai dengan semua ini. Sementara di pertigaan Sumberwudi seorang teman sedang menungguku di warung kopi.

Di suatu sore aku pernah mengunjungi toko bukumu, ada banyak sekali buku yang ingin kubaca dan kau menawarkan beberapa buku puisi untuk kubaca, namun tidak semua yang kau tawarkan kuambil sebagai bacaan. Kau memang tidak terlalu banyak bicara tentang buku-buku yang harus kubaca. Kau memilih duduk di dekat laptopmu yang sedang menyala, menghisap rokok yang sedari tadi terselip di sela-sela jemarimu. Dan sesekali meminum kopi dari botol Aqua yang katamu kau bawa dari rumah. Sementara aku sedang sibuk memilah-milah buku yang tertata rapi di rak bukumu, banyak sekali buku-buku yang menarik minatku dan sedang nangkring di rak toko bukumu. Setelah memilah beberapa buku, aku mengambilnya dan menumpuk buku-buku itu dihadapanmu dan bertanya harga. Kau memberikan harga yang terlalu miring, entah kau mendapat untung atau tidak dari buku-buku itu. Dan waktu itu meskipun harga terlalu miring, uang di dompetku masih tidak cukup untuk melunasi semuanya. Tapi kau memaksaku membawa saja buku-buku itu, urusan kekurangan biar hari depan yang membayar semuanya.

Sesampainya di pertigaan Sumberwudi tepat pukul 10.12 WIB, Farid sedang duduk di warung kopi yang berada di sebelah timur jalan. Memang ada banyak warung kopi di sekitar pertigaan itu. Dan tepat di warung kopi yang berada di sisi barat jalan Farid mendapati Pak Bambang dan Pak Rodli sedang duduk berdua.

“Mungkin mereka berdua telah selesai nglayat ke makam Mas Nurel.” Ucap Farid dengan raut wajah yang tampak seperti biasanya. Selalu menyimpan rahasia sekaligus ambisius, setiap memandang sorot matanya aku seolah bisa melihat suatu jalan lain yang tak mampu kulihat apalagi kugapai. Pendapat atau prediksinya terhadap sesuatu seringkali tepat. Dan itu sesekali membuatnya tampak menakutkan, Dia seoalah memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang di Lamongan.

Tidak lama kemudian di seberang jalan Pak Bambang dan Pak Rodli tampak telah selesai dengan urusan kopi. Aku dan Farid mengamati keduanya. Mereka berdua sedang berjalan ke motornya masing-masing. Menaikkan postepnya dan segera menyalakan motornya. Tapi mereka pergi berlawanan arah kerumahmu. Sepertinya benar, mereka telah menyaksikan secara langsung pemakamanmu. Semantara aku dan beberapa orang lain telah kehilangan kesempatan itu.

“Bagaimana?” tanyaku pada Farid. Aku mulai bimbang, sepertinya semua sudah terlambat. Sebuah foto di salah satu grup WhatsApp menampakkan suatu prosesi pemakaman telah usai. Jadi angan-angan untuk mengantarmu secara langsung telah benar-benar gagal. Menurutku suatu Tindakan apapun dengan embel-embel ‘turut berduka’ setelah terlambat mengantarmu pulang ke muara terakhir adalah sia-sia, apapun itu bentuknya.

Tapi Farid punya pendapat lain. Kita harus ke rumah duka, begitu katanya, aku menangguk. Meski tubuhmu sudah dikebumikan. Keheningan duka yang samar-samar ini terasa masih menyelimuti Lamongan. Sekitar pukul sepuluh lebih berapa, aku lupa tepatnya. Aku dan Farid mulai beranjak dari Pertigaan Sumberwudi yang tampak seperti biasa di mata orang-orang. Motor dan mobil masih berlalu lalang di jalan itu, beberapa warung kopi girasan masih buka dan meladeni pembeli-pembelinya seperti biasa. Di sepanjang perjalanan aku mencoba mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian sekelebat yang bersinggungan denganmu. Pernah suatu kali Mas Denny mengajakku pergi ke tokomu, barangkali itu adalah pertama kali aku berkunjung ke toko buku yang kau kelola sendiri. Itu adalah toko buku yang boleh dikatakan cukup besar menurutku meski ukurannya hanya sekitar 4 x 6 meter. Jika dibandingkan dengan beberapa toko buku yang berada di Lamongan yang ukurannya pun kurang lebih sama. Rak-rak buku yang tebuat dari kayu menempel di dinding toko, bertingkat, dan buku-buku tertata rapi memenuhi rak-rak itu. Tepat di tengah-tengah ada sebuah meja berukuran sekitar 1,5 x 2 meter diatasnya buku-buku bertumpukan memenuhi meja itu. Sejak pertama kali melihat buku-buku itu aku segera melihatnya satu persatu. Tapi kau dan Mas Denny tampak seperti karib lama. Kalian berdua memilih duduk di dekat pintu belakang toko yang menghadap kolam atau semacam tambak. Aku tidak terlalu menyimak apa yang kalian cakapkan tapi aku mendengar sesekali kalian tertawa bersama. Sambil melihat-lihat buku di rak toko bukumu, aku sesekali mendengar beberapa hal yang kalian cakapkan, tentang kabar, tembakau dan waktu menikah.

“Kapan, kau menikah? Kau harus segera menikah, Den!” begitu ucapmu waktu itu. Dari ucapanmu waktu itu aku tidak terlalu banyak mengerti. Hingga berhari-hari kemudian setelah kau benar-benar tidak kembali aku mungkin sedikit bisa menangkap maksud ucapanmu. Pada suatu hari di salah satu status Facebook aku mengunggah satu tulisan. Dan kau menulis di kolom komentar, yang kurang lebih kau ingin melihatku apakah masih sama saat aku sudah menikah nanti. Apakah aku masih menulis puisi, cerpen dan lain hal yang selalu kulakukan sebelum aku menikah.

Farid sedang melaju kencang di depanku, mungkin isi kepalanya tidak jauh berbeda dengan isi kepalaku. Keadaan yang semrawut dan serba salah juga sedang melandanya. Apa yang paling benar dilakukan dalam kondisi semacam ini. Barangkali dalam hidup ini berkunjung ke keluarga orang yang ditinggal adalah salah satu perkara paling menyebalkan untukku. Bagaimana tidak, mengunjungi orang yang sedang diliputi kesedihan, menurutku hanya mengingatkan si keluarga atas si orang yang telah pergi. Entah kenapa setiap pergerakan entah itu mimik wajah, gerak tubuh, cara menghela napas, berdeham, apalagi berkata-kata rawan sekali menjadi pisau untuk kembali melukai si keluarga yang ditinggal. Meski beberapa orang pernah berucap pergi ke rumah duka untuk mengeringkan luka alias menghibur si keluarga duka. Tapi aku pernah merasa bersalah ribuan kali, sebenarnya aku dan temanku tak benar-benar berempati pada si keluarga yang ditinggal, ini hanya sebuah tugas yang harus digugurkan, mengunjungi keluarga yang berduka untuk memberikan dansos yang telah suatu organisasi kemahasiswaan kumpulkan. Ketika aku dan temanku yang tengah memakai seragam kemahasiswaan sampai di rumah duka, setelah berhari-hari kematian anaknya, mungkin telah ada satu bulan kematiannya. Orang-orang rumah itu seketika langsung menangis. “Kami teringat dia, setelah melihat kalian berdua datang!” begitu katanya. Sambil tersedu-sedu. Melihat air matanya yang kembali merembes dari kedua matanya. Itu seperti menyayat lagi luka yang hampir mengering. Aku benar-benar membenci kepentingan-kepentingan semacam itu yang tidak datang tulus dari hati, barangkali boleh dicap semuanya hanya gara-gara masalah rai. Aku yakin kau juga masa bodoh dengan orang-orang yang entah ngelayat atau tidak ke rumah keluargamu setelah kepergianmu.

Debu-debu di jalanan menambah sesak sumpek panas dan benar-benar menunjukkan ketidakpecusan pemerintah menangani Lamongan meski dalam ranah terkecil dan paling purba: infrastruktur. Setelah memasuki gerbang Kawistolegi, jalanan semakin runyam, dan sialnya lagi ada perbaikan jembatan dan kami harus memutar jalan melewati jalan kecil pinggiran kali dan menyeberangi jalanan kecil di antara kebun-kebun pisang milik warga.

Saat sampai di halaman rumahmu, kami berdua tampak seperti apa yang kau suka. Puisi, tulisan-tulisan, media, dan buku-buku yang selalu asing di kebanyakan kepala orang-orang Lamongan. Tapi karena keasingan itu aku entah kenapa aku merasa seperti terselamatkan. Seorang kakek tua yang sedang duduk-duduk di teras rumah menyalami kami dan mempersilahkan masuk, kakek itu nantinya kami tahu adalah ayah kandungmu. Ruang tamu yang pernah kulewati mungkin sekitar dua tahun yang lalu, tidak banyak berubah. Beberapa fotomu masih terbingkai di dinding-dinding ruang tamu, bahkan mahar pernikahanmu untuk istri yang baru kusadari beberapa hari kemudian, masih terbingkai di antara foto-foto keluargamu. Mereka seperti pisau-pisau kecil yang tajam, setiap mata yang benar-benar kehilanganmu akan merasa matanya tertusuk-tusuk duri ketika melihat setiap yang bersangkutan dengamu. Termasuk foto-fotomu yang seolah kekal menempel di sana.

Tidak lama setelah kami duduk di karpet yang terhampar di lantai ruang tamu, istrimu datang dan ikut duduk bersama kami. Dari raut wajahnya seperti ada yang tertahan sesuatu yang di belakangnya sedang meluap-luap ingin ditumpahkan.

“Saat kepergiannya setelah di salatkan dan dibawa ke makam, ibu tidak menangis,” istrimu mencoba tersenyum, maksudku apa yang ia tampakkan di raut wajahnya tidak sesuai dengan apa yang berada di dalam dirinya. Kau pasti mengerti apa yang kumaksud. “Mas Nurel tidak suka melihat ibu menangis.”

Barangkali seperti apa yang kau kata dalam salah satu bukumu, takdir terlalu dini. Takdir itu datang terlalu dini. Atau barangkali dini yang kau maksud adalah dini yang tiba-tiba. Tapi bukankah segalanya selalu datang tiba-tiba, tidak pernah terencana, dan segalanya memang tidak masuk akal. Tidak seperti di dalam fiksi harus ada sebab akibat, dunia nyata memang kerap sialan, mereka tidak membutuhkan sebab akibat. Apa-apa terjadi secara tiba-tiba di dunia nyata ini. Dua hari yang lalu, minggu pagi di toko bukumu, kau sempat mengeluh kurang enak badan, cerita Farid. Tapi barangkali itu hanya masuk angin. Atau kecapekan biasa sebagaimana orang-orang pada umumnya. Dan akan hilang dengan sendirinya usai beristirahat cukup atau minum obat yang di jual di toko-toko kelontong kebanyakan.

Bahkan kau juga sempat ke Jombang, mengantar anak istrimu. Kau juga masih mampu menyopiri mereka.

“Dan di sebuah hutan Mas Nurel tiba-tiba turun dari mobil” begitu istrimu cerita. Kau memandang sekitar, aku membayangkan kau menghirup dalam-dalam udara segar di tengah hutan itu. Memandangi langit-langit yang hampir seluruhnya tertutup ranting dan dedaunan pohon-pohon. Kau berputar memandang jauh seolah ada sesuatu yang hanya bisa ditangkap oleh sepasang bola matamu yang selalu berapi-api. Kau mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang kau selipkan di salah satu saku celana jinsmu bersama korek api. Sambil menghirup lagi, dalam-dalam udara segar di hutan itu kau menyelipkan sebatang rokok di sela-sela bibirmu. Lalu sorot matamu adalah rahasia yang tidak terjamah satu orang pun.

“Aku sudah mengirim Al Fatihah ke seluruh makam di sekitar sini, ada banyak makam di sekitar sini.” Begitu katamu, dan istrimu hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum melihat raut wajahmu yang tampak serius. Lalu kau tiba-tiba tersenyum, melihat ke salah satu sudut jalan. Berjalan pelan ke sudut itu. Kemudian kau berjongkok pelan, duduk sebentar, memandanginya. Kau seperti sedang berbicara dengannya tapi hanya sebentar saja. Lalu memetiknya. Kau segera berjalan ke arah istrimu yang ikut turun dari mobil. Istrimu sedang berdiri tidak jauh dari mobil memandangi gerak-gerikmu yang selalu membuat orang bertanya-tanya. Perangaimu memang tidak seperti kebanyakan orang, yang pada umumnya selalu takut dan suka menutup-nutupi. Kau tidak seperti mereka. Tapi kau hidup di antara kebanyakan orang-orang itu.

Aku ga isok ngekei opo-opo, mung iso ngekei kowe kembang, nyoh tampanono!” begitu katamu sehari yang lalu.

Itu sedikit adegan yang bisa kubayangkan ketika istrimu menceritakan semua yang terjadi sehari sebelum kau pergi untuk tidak lagi kembali. Bu Lathifa istrimu menceritakannya sambil tersenyum dan menahan seseuatu yang tengah meluap-luap di belakangnya.

Beberapa saat yang lalu rombongan Pak Alang bersama Pak Herry, Pak S. Jai, Pak Syauqi, dan Mas Imamuddin SA datang ke rumahmu. Barangkali kedatangan mereka akan membuatmu senang atau sebaliknya aku tidak tahu. Hanya saja aku tahu kau selalu senang dengan orang-orang yang masih menulis. Kau akan dengan cepat sigap dan cekatan memposting ulang setiap tulisan yang berserakan di dunia digital yang kau anggap penting, ke dalam ruang besar tak terbatas dan setiap orang boleh mengambilnya jika mereka mau. Barangkali sumur pengetahuan itu akan selalu memberimu kiriman yang lebih-lebih sebagai bekalmu di sana setiap kali ada orang membutuhkannya. Jika dulu orang-orang mengenal ada H.B. Jassin yang mendokumentasikan arsip-arsip kesusastraan. Tapi baru-baru ini kami telah memilikimu dan kami luput atas itu semua. Kau bahkan mungkin telah melampaui nama-nama besar itu. Kau sama sekali tidak seperti pecundang-pecundang di panggung itu, yang selalu kupandang lebih bermartabat. Tapi kau adalah orang yang berada di bawah panggung, sangat berisik, suaramu barangkali kerap mendapat balasan yang pahit, bahkan sesekali aku yakin cemoohan yang kau dapat. Tapi kau tak menghiraukan itu. Kau memilih melanjutkan semua yang kau yakini dan telah bulat dalam hati bahkan hingga mandarah daging. Menjadi penulis dan hanya hidup dengan tulisan-tulisan tentu itu tidak mudah untuk orang-orang yang tinggal di Lamongan. Apalagi di Lamongan ini kebanyakan orang tidak memberi makan kepalanya hanya melulu urusan perut, materi dan segalanya yang membuat mereka semakin serakah. Kau tinggal di antara keriuhan itu. Kau membuat bilik kecil di antara kebisingan itu, terus mengasah apa yang kau yakini, sehingga pedang yang tajam dan benar-benar indah itu nampak dalam setiap tulisan-tulisanmnmu. Membaca dua esai dalam Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, sudah cukup untuk membuatku menjadi orang paling rugi, kenapa tidak dari dulu aku membacanya dan barangkali setiap apa yang kita bicarakan akan terasa hidup bertumbuh dan lebih-lebih bisa berbuah manfaat. Tapi barangkali ini adalah takdir seperti yang kau ucap dalam puisimu.

Kemudian setelah itu kami mampir ke makammu untuk melihatmu yang sudah tenang di ruang lain yang barangkali lebih sunyi dan hening dari kebisingan yang palsu ini. Di makam itu aku sadar kau selalu menjadi orang yang berada di depan kami, entah berapa tahun cahaya jaraknya. Kami hanya orang-orang yang selalu berada di belakangmu, dan belum selesai dengan urusan fana sialan ini. Tak ada yang istimewa di makammu, kecuali hanya gambar-gambarmu yang berkelindan di kepalaku membuat segalanya semakin berat. Aku yakin hari itu sepetak tanah di Lamongan merasa sangat beruntung menjadi ruang untuk menyimpan jasadmu, dan sebaliknya kami menjadi manusia-manusia yang benar-benar kehilangan cahaya yang selalu menyala menerangi Pulau Jawa Timur. Tapi cahaya-cahaya yang kau tinggalkan barangkali belum redup apalagi padam, masih bisa bisa kami temukan di dalam tulisan-tulisanmu dan arsip digital yang kini setiap orang boleh mengambil atau sekedar mengunjunginya, Mas.

—Kalikapas, 30 September 2021

0 Comments for "Nurel Javissyarqi, Cahaya yang Belum Padam: Sebuah Obituari"

Silakan tulis komentar anda!

Back To Top